Minggu, 22 April 2012

STRATEGI PEMECAHAN KRISIS UTANG DI NEGARA BERKEMBANG INDONESIA SECARA GLOBAL

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulisan  yang bertema Strategi Pemecahan Krisis Utang di Negara Berkembang Indonesia Secara Global
Penulisan karya tulis adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Softskill .
Dalam Penulisan Karya Tulis ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan karya tulis ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

PENDAHULUAN
Krisis utang yang terjadi di negara berkembang kini meningkat , bukan hanya di negara berkembang saja di berbagai negara industri pun sedang mengalami juga. Salah satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus membengkak, Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan bunganya yang begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar sehingga biaya untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan mendesak menjadi sangat minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai negara berkembang yang sedang membangun, yang memiliki ciri-ciri dan persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya,Indonesia sendiri tidak terlepas dari masalah utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir,utang luar negeri telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan di Indonesia. Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun utang luar negeri (foreign debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya pembangunan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun persoalan pembayaran cicilan dan bunga menjadi beban yang terus-menerus harus dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah terhadap dollar cenderung tidak stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya.
           
Utang luar negeri Indonesia pada 2012 mencapai Rp 1.937 triliun atau naik sekitar Rp 600 triliun dalam waktu kurang dari 5 tahun. Saat ini, utang sudah bertambah menjadi Rp 134 triliun. Jika dibandingkan dengan total utang sejak 1945 hingga 2007, yang berjumlah Rp 1.300 triliun atau Rp 1,3 kuadriliun, maka utang yang dibuat SBY dalam 5 tahun terakhir setara dengan 50 persen utang Indonesia selama 67 tahun. Juru bicara LSM Bendera, Mustar Bona Ventura, mengatakan, bunga yang dibayarkan tahun ini mencapai 90 persen dari utang. Jika Indonesia berani menghentikan utang baru dan mulai membayar cicilan, yaitu sebesar Rp 50 triliun per tahun atau Rp 1,1 triliun per minggu, maka utang pokok akan lunas sekitar 40 tahun. Jika yang dilunasi berikut dengan bunga berbunganya, maka kemungkinan utang baru lunas 100 tahun dari hari ini, yaitu tahun 2112. Menghentikan utang dengan penghematan anggaran tidak mungkin terjadi, Jika dilihat dari pola hidup mewah pejabat, biaya rapat kabinet sebesar Rp 30 miliar per tahun, serta pejabat maupun kader Partai Demokrat yang terlibat korupsi, maka sulit SBY mampu melakukan penghematan besar-besaran di semua sektor.
Jika dibiarkan utang meningkat secara terus-menerus akan berdampak , yang disebut Bom Utang , reduksi impor di negara berkembang berarti berkurangnya ekspor, dan selanjutnya lapangan kerja. Dengan adanya krisis ekonomi tersebut kinerja perbankan Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang memburuk. Hal ini ditandai dengan hilangnya kepercayaan masyarakat dengan terjadinya penarikan besar-besaran (Rush) yang berdampak para investor asing maupun lokal tidak mau berinvestasi. Namun , bukan hanya itu masalah politik kericuhan sosial dan politik di negara yang terbelit utang tidak stabil. Masalah utang menimbulkan dampak yang lebih luas secara internasional.
            Pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil dan pola perkembangan yang tidak sehat harus segara dipulihkan. Untuk mencapai hal itu, beban utang harus dikurangi. Pertumbuhan ekonomi (growth) merupakan salah satu indikator perekonomian yang dipengaruh oleh berbagai macam variabel, salah satunya adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Hutang luar negeri (foreign debt) adalah variabel yang bisa saja mendorong perekonomian sekaligus menghambat pertumbuhan ekonomi. Mendorong perekonomian maksudnya,jika hutang-hutang tersebut digunakan untuk membuka lapangan kerja dan investasi dibidang pembangunan yang pada akhirnya dapat mendorong suatu perekonomian,sedangkan menghambat pertumbuhan apabila utang-utang tersebut tidak dipergunakan secara maksimal karena masih kurangnya fungsi pengawasan dan integritas atas penanggung jawab utang-utang itu sendiri.
           
ISI

MASALAH UTANG NEGARA BERKEMBANG

            Masalah utang negara berkembang akan bersifat jangka pendek, disebut masalah likuiditas. Penyelesaiannya berupa penyesuaian struktural, penyesuaian-penyesuaian ini tidak mudah dilakukan dan memerlukan waktu, tetapi bank-bank menganggap negara berkembang tidak cukup berusaha. Pada umumnya, program negara berkembang yang terlibat cukup baik di atas kertas, tetapi pelaksanaannya buruk. Seperti, mempersulit mengikutsertakan bank-bank dalam restrukturisasi program penyediaan sumber-sumber daya yang diperlukan oleh negara berkembang. Kesulitan ini membuat banyak orang memikirkan cara-cara baru untuk mengatasi masalah utang.
           
            Program pengurangan utang harus mencakup pertukaran debt-equity, pertukaran utang swasta-utang, pertukaran utang pemerintah-utang, pertukaran utang-ekspor, pertukaran utang-tujuan lingkungan dan pembelian kembali utang. Program pengurangan utang tersebut tidak akan dengan sendirinya mengisi kesenjangan sumber daya di negara berkembang, namun kalau didukung dapat banyak menolong. Bank-bank akan mau menukarkan utang-utang disertai potongan, dengan aset yang lebih baik.


            Di beberapa negara, banyak utang yang tidak berasal dari bank, melainkan dari negara-negara kreditur. Karena bank-bank komersial membatasi diri pada pendanaan perdagangan saja dan menghindari neraca pembayaran serta pendanaan proyek. Usul pemerintah negara-negara ini untuk memberi keringanan utang merupakan solusi yang realistis dan harus segera dilakukan.

            Masalah utang yang dihadapi negara berkembang membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk melaksanakan perbaikan penting, dan pemerintah multilateral supaya kelenturan dan ketetapan meneruskan perubahan dilengkapi dengan imajinasi, dan diperlukan bank untuk bertahan.


MENGHADAPI KRISIS UTANG

            Cara alternatif yang dipakai negara-negara debitur untuk meningkatkan kapasitas pembayaran utang mereka saling bertentangan pada keadaan-keadaan tertentu. Jika mereka ingin membayar utang pada waktunya, mereka harus mengalihkan sumber daya langka dari strategi pertumbuhan yang sedang dijalankan. Bila mereka ingin berkembang, mereka harus menarik sumber daya dari pembayaran utang. Misalnya, devaluasi mata uang yang tak terelakkan supaya bantuan untuk ekspor diharapkan menimbulkan inflasi dan melalui kenaikan bunga utang dalam mata uang nasional, meningkatkan defisit anggaran. Ini akan menyebabkan penyakit inflasi baru dan cenderung menggerakkan pembatasan-pembatasan impor.

            Peringanan utang mestinya menguntungkan kreditur karena meningkatkan insentif para debitur untuk membereskan negeri mereka dengan hasil terbinanya kepercayaan investor domestik maupun asing. Hasil ini penting kalau mengingat kembali hilangnya kepercayaan eksternal dan internal terhadap negara debitur. Pelarian modal, ketidakstabilan politik, dan radikalisasi dalam bentuk apa pun, merupakan akibat sampingan dari perkembangan seperti itu.

            Langkah-langkah penyesuaian yang perlu dijalankan adalah, antara lain : penarikan subsidi, pelonggaran distorsi akibat monopoli, keterbukaan dan kepercayaan dalam manajemen perusahaan milik negara, penghapusan hambatan-hambatan perdagangan di pasar negara-negara debitur, dan kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel.


            Hal ini kembali menunjukkan bahwa sampai batas tertentu politik menentukan keberhasilan atau kegagalan pendekatan baru terhadap krisis utang. Peranan pemerintah negara-negara industri mesti diberi tekanan khusus. Mereka mesti membuktikan bahwa mereka benar-benar menyadari tanggung jawab mereka. Nyatanya, pemerintah negara-negara industri ini menyimpan taruhan besar pada keberhasilan resolusi krisis utang negara berkembang dalam perdagangan, lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, stabilitas geopolitis, dan sistem keuangan global yang lebih aman. Hanya mereka yang dapat menghimpun kemauan politik ke arah proses itu. Tentu, kepemimpinan seperti itu diperlukan bukan untuk substitusi dana negara bagi kredit swasta dan risiko negara bagi risiko swasta, melainkan untuk memulihkan hubungan kredit yang sehat dan berkesinambungan di antara negara-negara debitur dan pasar keuangan internasional. Satu langkah penting yang harus di ambil oleh pemerintah negara industri adalah penyerasian peraturan pajak dan komersial.

            Pembukaan pasar dengan tujuan mengurangi utang tiap-tiap negara hingga ke tingkat yang memungkinkan negara-negara itu mencapai kemampuan membayar utang yang ada secara memadai. Bila tingkat tersebut tercapai, aliran suka rela baru dari bank-bank komersial dapat digunakan untuk membiayai proyek dan perdagangan, yakni investasi produktif yang membantu pertumbuhan dalam negeri yang sangat diperlukan.

            Kemajuan tidak mudah dicapai, tanpa partisipasi luas dari negara-negara kreditur utama, akan banyak tindakan yang menjadi tumpul. Oleh karena itu, peningkatan kepercayaan pengurangan utang dapat memberikan bantuan yang berguna, dan yang paling penting, demi kepentingan semua pihak yang terlibat, mesti menggunakan seluruh pengaruh dan kemampuan persuasif masing-masing untuk meyakinkan mereka yang belum percaya.

MENGATASI MASALAH UTANG

            Dana Moneter Internasional (IMF), bank komersial Amerika Serikat, dan Bank Dunia, menganggap penyebab krisis utang (yang bermunculan di negara berkembang ) adalah kekurangan likuiditas jangka pendek pada negara-negara debitur. Pada dasarnya mengatasi masalah utang dengan melakukan kerja sama gabungan dalam mencari solusi masalah utang.

1. Jalan keluar melalui pengurangan beban utang dengan pembagian beban
            Kelebihan utama pendekatan ini adalah tercakupnya konsep sekuritisasi dan instrumen inkorporasi yang dapat mengurangi stok utang yang belum dilunasi.

2. Melakukan kerja sama
            Salah satu langkah pengurangan utang yang lebih efektif dan sekaligus menaikkan investasi dalam industri ekspor dan industri impor yang disubstitusi.

3. Membaiknya sistem simpanan


SOLUSI PASAR UNTUK KRISIS UTANG

            Peristiwa utama sehubungan dengan utang Negara berkembang adalah terus berlangsungnya penjadwalan ulang negara berkembang dan munculnya pasar sekunder yang responsive bagi pinjaman. Kalau dilihat dari skalanya, penjadwalan ualang yang terus menerus dan berkelanjutan mengecilkan arti transaksi lainnya. Akibatnya, penjadwalan ulang member peluang-langsung atau tidak langsung-untuk sebagian besar transaksi yang melibatkan pinjaman.

            “Pasar” yang sedang kita bicarakan itu bukanlah kelompok investor yang tidak punya kepentingan, tidak jelas, pasif, atau sederhana. Pasar yang dimaksud tidak lain adalah bank- bank yang paling awal meminjamkan uang ke Negara berkembang. Bank adalah lembaga pertama yang menyadari bahwa pelonggaran persyaratan penjadwalan ulang hanyalah permulaan proses pengampunan utang yang terus berlangsung secara bertahap. Pendek kata, apa pun pernyataan umum mengenai penjadwalan ulang, realitas ekonominya sudah terjadi, yakni sejumlah besar pemberi pinjaman terdahulu telah memutuskan untuk menjual pinjaman Negara berkembang dengan potongan besar.

            Bagi kebanyakan bank, keputusan untuk menjual asset yang buruk menggambarkan suatu revolusi dalam manajemen portofolio. Sebelum terjadi krisis utang, bank jarang memperdagangkan asset mereka lebih sedikit asset mereka yang buruk. Yang memungkinkan berkembangnya pasar utang yang didiskonto adalah sangat banyak pinjaman yang sejenis. Yang menyebabkan pasar tersebut cepat  berkembang adalah ketidaksabaran banyak bank untuk menyelesaikan masalah utang.

Pasar Bagi Pemberi Pinjaman Baru yang Benar-benar Suaka Rela

            Kebijaksanaan yang lazim beranggapan bahwa Negara berkembang memerlukan suntikan modal yang sangat besar untuk meningkatkan pertumbuhan dan, dengan demikian, berhasil menyelesaikan masalah utang. Akibatnya, bermunculan spekulasi mengenai kapan Negara berkembang siap mendapatkan dana segar di pasar kredit internasional atas dasar yang benar-benar suka rela. Dengan kata lain, keuntungan apa yang diinginkan oleh bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan rakyat biasa dengan menginvestasikan atau memberikan pinjaman baru bagi Negara berkembang?

            Sehubung dengan utang Negara berkembang, ada dua kubu investor: bank yang meminjamkan miliaran kepada Negara berkembang, dan perusahaan asuransi, dana pensiun serta beberapa bank yang tidak terlibat dalam pemberian pinjaman, krisis utang, dan penjadwalan ulang.

            Disamping itu, para pemegang saham bank jarang yang memahami mengapa orang mau meminjam dana baru dengan nilai parinya kalau tidak lama kemudian pinjaman yang sama dapat dibeli dengan setengah harga dipasar sekunder. Bahwa, pemegang saham sama sekali membiarkan naiknya dana baru suka rela, itu sungguh mengherankan.

            Analisis yang lebih gamblangbagi lembaga yang bukan kreditur Negara berkembang. Lembaga seperti itu memperhatikan proses penjadwalan ulang tanpa henti yang serba sulit dan tidak nyata. Bahkan yang lebih penting berdasarkan perspektif investor, mereka memperhatikan harga pinjaman Negara berkembang sangat jatuh sejak krisis utang.

            Pendirian para banker besar, yakni harga utang Negara berkembang yang sedang berlaku tidak mencerminkan nilai pinjaman – harga terlalu rendah – tidak benar. Bahkan harga yang sedang berlaku terlalu tinggi menilai utang. Investasi baru yang penting pada utang Negara berkembang dan pemberian pinjaman baru yang penting kepada Negara berkembang dan pemberian pinjaman baru yang lebih besar. Untuk mencapai keuntungan tersebut, harga mesti terus turun cukup banyak, sampai keuntungannya setara dengan resikonya.

            Masalah persediaan mempunyai dua sisi: sisi kreditur dan sisi Negara. Dengan sangat besarnya jumlah pinjaman yang belum dilunasi, tidak diragukan lagi, meskipun harga sekunder terus turun, bank akan tetap menjual pinjaman yang diberikan kepada Negara berkembang. Sesungguhnya, jika tidak berpatokan pada sejarah, makin jauh harga turun makin banyak kreditur yang akan menyerahkan dan menjual tunai.

            Pertimbangan yang lebih pelik pada pihak debitur dikeluarkannya utang baru. Seumpama untuk sementara waktu kita mencapai tingkat keuntungan daridari pembelian pasar sekunder sehingga bisa mendapatkan pembeli utang Negara berkembang sesuai dengan skalanya, masih belum jelas apakah Negara berkembang akan mengeluarkan utang baru tingkat keuntungan pasar tersebut. Mungkin inilah hambatan paling besar bagi inisiatif berdasarkan pasar. Lagi pula, suntiakn dana dari lembaga multilateral dengan tingkat subsidi sangat besar agak mengecilkan hati Negara berkembang untuk menghadapi kerasnya realitas pasar.

            Perkembang paling penting akan membantu menarik minat terhadap utang Negara berkembang: investasi warga Negara berkembang. Tidak ada yang akan meyakinkan kalangan investasi bahwa kredit Negara berkembang tertentu menggambarkan nilai yang menguntungkan sebanyak aktivitas pembelian warga Negara suatu Negara dan lembaga domestic. Terlepas dari kejadian ketika utang diperoleh untuk digunakan dalam konversi utang – ekuitas – yang sebenarnya menunjang penjualan mata uang setempat – pembelian utang oleh warga Negara untuk keuntungan besar jarang terjadi.

            Setiap pembicaraan tentang utang Negara berkembang, krisis utang, dan beban utang akhirnya akan sampai pada masalah penjaminan. Demikianlah dongeng sekitar kata ini sehingga yang memakainya percaya bahwa menyebut kata itu saja dapat membantu menyelesaikan masalah utang. Ini serupa dengan pencarian mangkok suci: Beredar keyakinan bahwa bagaimana pun penjaminan dapat menanggulangi utang sedemikian rupa sehingga orang ingin membelinya. Meskipun demikian, saat ini penjaminan tidak berarti banyak.

            Penjaminan dapat dipakai untuk salah satu dari dua tujuan: pertama, menciptakan instrument yang menarik bagi investor baru; dan kedua, menciptakan instrument yang menarik bagi bank. Penjaminan untuk menarik minat bank berguna sebagai alternative untuk penjadwalan ulang utang yang dijaminkan.

Prospek

Utang Negara berkembang dan pendanaan Negara-negara berkembang bukanlahmasalah yang menempati kekosongan. Dengan satu kekecualian penting, utang Negara berkembnag merupan bagian dari pasar modal yang juga menyediakan pendanaan bagi Departemen Keuangan Amerika Serikat dan IBM.

Kekecualiannya adalah bank-bank yang menguasai utang Negara berkembang tidak menjual pinjaman itu dengan nilai pasar. Akibatnya banyak kreditur bank tidak terdorong untuk mengelola portofolio utang Negara berkembang dengan cara mencerminkan nilai ekonomis. Malahan, mereka terdorong untuk mengelola portofolio mereka memakai cara yang mempertahankan khayalan bahwa pinjaman itu berharga lebih tinggi dari pada harga jualnya.

Pendekatan itu menimbulkan hambatan yang sangat besar terhadap resolusi krisis utang dan pemulihan pertumbuhan ekonomi di Negara-negara berkembang. Karena banyak bank menjaga nilai fiktif demi kepentingan pembukuan, mereka tidak dapat merundingkan restrukturisasi utang yang ada yang memungkinkan debiatur untuk melunasinya. Selain itu bank yang mempertahankan nilai fiktif tersbut tidak akan menjual pinjaman dengan harga yang menarik bagi pemodal bukan bank. Sebelum hambatan ini disingkirkan, tidak aka nada resolusi krisis utang.

PENGURANGAN PEMBAYARAN UTANG 
            Sebagai Jalan keluar :
1. Pembelian kembali
2. Jaminan Pertukaran Aset
3. Jaminan-jaminan Bunga

SKEMA PARIPURNA UNTUK MENANGGULANGI KRISIS UTANG

Definisi Pendekatan Komprehensif

            Dalam perdebatan mengenai masalah utang Negara berkembang di tahun 80-an, resolusi yang “buruk” sederhana global, atau komprehensif sering dibedakan dengan resolusi yang “baik” kasus demi kasus, atau pasar. Sebenarnya, perbedaan antara solusi komprehensif dan solusi pasar bersifat semu.

            Ciri pertama solusi komprehensif adalah mencoba memperlakukan utang Negara berkembang sebagai  masalah bersama sejumlah Negara, bukan masalah tiap-tiap Negara secara terpisah. Pendekatan komprehensif dapat dikenali dari bentuk yang paling sederhana sebagai upaya untuk menerapkan solusi tunggal dan global pada masalah-masalah sekelompok besar Negara berkembang. Namun, setiap pendekatan komprehensif yang agak rumit akan memberikan solusi umum bagi sekelompok Negara yang kondisi dan prospeknya serupa, dengan adaptasi kasus pada keadaan dan prospek tiapa-tiap Negara. Dalam hal itu, tidak ada perbedaan dengan solusi pasar.

            Ciri kedua solusi komprehensif adalah melibatkan semua pihak yang relevan – pemerintah Negara-negara industry, bank-bank, dan Negara-negara debiatur. Solusi pasar yang murni akan membebankan penanggulangan masalah utang Negara berkembang kepada dua pihak yang langsung terlibat: bank-bank yang meminjamkan uang dan Negara-negarayang berutang. Strategi komprehensif secara eksplisit mengakui bahwa bukan hanya bank-bank dan Negara-negara berkembang yang berperan dalam utang Negara berkembang. Pemerintah Negara-negara maju juga ikut menentukan akibatnya secara ekonomis dan politis. Pendekatan komprehensif menyertakan pihak yang terakhir itu sebagai bagian dari solusi.

Ciri-ciri terakhir dari solusi komprehensif  adalah cara ini langsung mengkaitkan perubahan kebijakan dinegara debiataur dengan perubahan struktur utangnya. Sesungguhnya kelemahan pokok solusi pasar yang murni adalah ketidakmampuan bank maupun Negara-negara debitur untuk memakai pengaruh secara tepat kepada pihak lain. Bank tidak dapat memaksa Negara-negara berdaulat menjalankan perubahan kebijakan agar dikemudian hari mampu melunasi utang. Negara-negara debitur yang mengalami kesulitan utang tidak dapat memaksa bank memberikan pinjaman baru atau keringanan utang. Kepentingan mereka bersama dalam memelihara hubungan baik kreditur-debitur dapat menghasilkan persetujuan yang mengaitkan perubahan kebijakan yang diperlukan dengan restrukturisasi dan penambahan dana. Tetapi, pihak ketiga yang berpengaruh terhadap bank maupun debitur dibutuhkan untuk menjamin dilakukannya perubahan kebijakan yang perlu oleh Negara berkembang dan bank diimbau untuk memberikan keringanan utang atau kredit baru.

            Maka, pendekatan komprehensif sebenarnya merupakan rintisan penting untuk solusi pasar yang sehat. Tanpa keterlibatan pemerintah, kaitan antara perubahan kebijakan dengan reorganisasi atau penambahan dana tidak dapat terjalin dengan meyakinkan. Tanpa kaitan tersebut, bank maupun Negara berkembang tidak dapat mencapai persetujuan mengenai restrukturisasi pinjaman yang macet. Solusi pasar bisa berlangsung dengan kerangka komprehensif yang menentukan pendirian Negara-negara industry terhadap bank dan Negara debitur, cara bank serta debitur menyeimbangkan pengeluaran dan keuntungan.


           
Pendekatan Komprehensif Dengan Dana Pemerintah
            Sejak awal krisis utang sudah banyak usul yang diajukan untuk pendekatan komprehensif yang disertai lebih besarnya peran pemerintah. Para pendukung pendekatan komprehensif berpendapat, masalah utang bukan sekedar likuiditas – itu adalah masalah kesanggupan membayar. Utang dan pelunasan utang Negara berkembang sudah terlalu besar dibandingkan dengan kesanggupan Negara berkembang untuk membayar. Bank dan Negara berkembang saja tidak akan mampu mengatasi ketimpangan tersebut tanpa akibat yang sangat merugikan mereka maupun Negara-negara industry. Untuk menghindari akibat buruk, pemerintah Negara-negara industry harus menyediakan sumber daya keuangan untuk menutupi kebutuhan Negara berkembang akan pelunasan utang yang lebih ringan utang atau pinjaman yang lebih besar dan ketidakmampuan bank untuk memberikan itu tanpa membebani system keuangan.
            Para pendukung pendekatan baru ini menyebutkan empat alasan umum perlunya strategi-strategi baru. Pertama, utang Negara berkembang sudah melebihi kemampuan untuk melunasinya. Kedua, Negara berkembang sangat kekurangan sumber daya untuk melunasi utang. Ketiga, pertumbuhan ekonomi dan investasi Negara berkembangterus terhambat beban pelunasan utang, menyebabkan kemunduran ekonomi, social, dan politik. Keempat, Negara-negara industry tidak bisa menahan semakin rapuhnya system keuangan mereka, dan bersama perindustrian swasta mereka juga mengalami kemerosotan perdagangan dengan Negara-negara berkembang.
Usul-usul Reorganisasi dan Keringanan Utang
            Pendekatan-pendekatan komprehensif yang menonjolkan reorganisasi dan keringanan didasari asumsi bahwa beban utang Negara berkembang terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan mereka untuk membayar. Oleh karena itu, utang harus direduksi atau pembayaran bunganya diturunkan, atau dua-duanya sekaligus.
            Mekanisme khusus untuk pelaksanaannya berlainan di tiap-tiap rencana, dan rencana-rencana tersebut sangat beragam. Uraian tentang rencana-rencana yang paling menonjol dan terangkum pada lampiran. Tetapi, hampir semua keringanan utang melibatkan peran pendanaan pemerintah Negara-negara maju, melalui jaminan, tanggungan modal, atau dana untuk pembelian utang. Sokongan keuangan seperti itu dimaksudkan untuk mendapatkan keringanan pendanaan tambahan bank-bankwalaupun ada kerugian actual dan untuk menghindari kerugian yang sangat besar yang menyebabkan kerugian bank berlipat dan krisis keuangan.
Pembelian Utang dengan Diskonto oleh Fasilitas Internasional
Salah satu pendekatan melibatkan transfer pinjaman Negara berkembang yang dilakukan oleh bank-bank kepada suatu lembaga public baru yang harganya dibawah nilai yang sebenarnya, dengan bank yang menyerap diskonto itu sebagai kerugian. Bank-bank akan menerima asset yang lebih baik dari fasilitas internasional, dan didukung oleh kelayakan kredit Negara-negara industry. Lembaga baru ini akan menerima obligasi yang diserahkan oleh Negara debitur dan pembayaran obligasi tersebut.
Hutang Luar Negeri Pemicu Krisis Ekonomi Indonesia
Perpindahan dari Orde Lama ke Orde Baru, sekaligus terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan Orde Baru menonjolkan kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan anggaran, pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang disebut hutang luar negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya dilakukan bukan berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan betul-betul terbuka. Unsur perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol sehingga pilihan-pilihan industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang obyektif – rasional.  Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang berkombinasi dengan jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan dan elite pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain kebijakan ekonomi.
Kebijakan hutang luar negeri, yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan ratusan bahkan ribuan proyek yang terlibat di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan sebagai sasaran rente ekonomi. Jadi, pembuat disain kebijakan ekonomi bagaikan menciptakan mobil dengan “pedal gas” yang dapat dipacu dengan cepat. Perumpamaan itu dapat terlihat dari rekayasa pertumbuhan ekonomi yang cepat berbasis hutang luar negeri dan dilanjutkan dengan ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar “setoran” hutang.[14]
Namun demikian, teknokrat para pembuat rancangan kebijakan ekonomi tadi lupa membuat “rem” pengendali yang baik. Akhirnya ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang menggiring ke jurang krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh sistem ekonomi, yang sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah menyebabkan ongkos sosial-politik yang tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang terjadi juga sangat luar biasa mahal dan terpaksa harus dibayar oleh bangsa ini, yang tidak mungkin tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi yang tercipta selama ini.
Ekonomi pasar yang semu dilaksanakan dengan warna yang kuat dan sangat menonjol dalam proses pertumbuhan ekonomi masa itu. Oleh karena itu, tidak terhindarkan intervensi pemerintah dalam berbagai bidang ekonomi. Hal ini utamanya terlihat dalam rancangan serta implementasi APBN yang syarat dengan ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut.
Faktor hutang luar negeri dalam rancangan pembangunan ekonomi tersebut telah menyebabkan dampak negatif tidak hanya dari sisi teknis kemampuan membayar kembali, negatif outflow dan debt service ratio yang melampaui batas wajar. Dampak desain kebijakan hutang luar negeri tersebut telah menyodok aspek-aspek non ekonomi, terutama kerusakan birokrasi,iklim usaha, perburuan rente, inefisiensi, dan sebagainya. Kerusakan aspek non ekonomi ini, baik kelembagaan maupun perilaku aktor-aktor ekonomi, jauh lebih besar biaya sosialnya daripada aspek ekonomi itu sendiri.
Batas merah dari DSR sebesar 20 persen sudah dilanggar sejak lama sehingga beban pembayaran hutang luar negeri ini telah menjadi penyakit laten bagi ekonomi nasional. Bahkan persoalan hutang luar negeri itu sendiri telah menjadi isu politik yang dirasakan sebagai api dalam sekam. Kritik sama sekali tidak dihargai bahkan cenderung melemah karena DPR mandul. Kerapuhan kebijakan hutang luar negeri ini ditutupi dengan jargon politik “Hutang hanya sebagai komplementer”. Sementara itu para teknokrat dan ekonomi afilatifnya sibuk menjustifikasi bahwa hutang luar negeri masih dapat dianggap sebagai persoalan publik yang dapat dikelola (manageable).
Distorsi-distorsi ekonomi terjadi karena diawali dengan semangat etatisme yang kuat dan diikuti berbagai gangguan kelompok kepentingan yang besar. Hal itu berlangsung selama periode pembangunan ekonomi serba negara sampai akhir tahun 1970-an dan berlanjut pada awal 1980-an. Namun sistem ekonomi yang bersifat etatisme ini tidak dapat bertahan lama karena sumber daya pembangunan yang melimpah khususnya sumber daya alam minyak dan non minyak serta hutang luar negeri semakin terbatas, bahkan dari waktu ke waktu semakin berkurang.
Pemborosan demi pemborosan satu per satu terlihat semakin gamblang, terutama ketika terjadi korupsi pertamina pada masa kepemimpinan Ibnu Sutowo. Namun kasusnya ditutup-tutupi karena menyangkut kepentingan penguasa, yang telah memanfaatkan BUMN menjadi “sapi perah”. Sejak itu tidak ada lagi kasus-kasus korupsi yang betul-betul ditangani dengan baik. Kerusakan institusi dan perilaku aktor negara ini telah menjadi benih yang kuat untukk menular ke dalam institusi swasta yang menempel langsung disamping negara. Sistem yang tercipta akhirnya tidak terhindarkan menjadi normal dan bersifat anomali sehingga rentan krisis.
Disinilah kemudian terjadi kegagalan pemerintah (state failure) dalam memainkan perannya di dalam sistem ekonomi politik yang sehat. Kelemahan dalam membangun sistem ekonomi politik menular ke lembaga swasta sehingga dunia usahapun dipenuhi distorsi, perburuan rente dan inefisiensi. Kegagalan kebijakan deregulasi sektor keuangan, yang bertujuan memacu arus masuk modal asing ke Indonesia, dapat ditelusuri melalui logika dan nalar berfikir seperti ini.
Pada awal tahun 1980-an kemudian terlihat gejala-gejala perlambatan pertumbuhan ekonomi karena masa bonansa ekspor minyak mulai menyurut. Injeksi modal yang dilakukan tidak produktif sehingga harus terus ditopang oleh hutang luar negeri. Karena pemborosan yang terjadi, maka nilai tambah yang tercipta tidak mengarah pada produktifitas modal yang diinjeksikan. Ekonomi Indonesia terus haus terhadap tambahan modal dan hutang luar negeri.
Bahkan pada pertengahan tahun 1980-an itu pertumbuhan hutang luar negeri terus berlangsung dan justeru semakin besar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin terjerat dalam perangkap hutang luar negeri (debt trap). Gejala ini berlangsung sejalan dengan semakin besarnya pelarian modal negatif ke luar negeri karena pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang sudah lebih besar dari jumlah hutang baru yang diterima.
Transaksi hutang luar negeri pemerintah telah menjadi bencana bagi perekonomian nasional ketika terbukti dari akumulasi yang besar dari pembayaran cicilan pokok dan bunganya. Aliran modal keluar melalui transaksi hutang ini telah menyebabkan kehilangan kesempatan investasi (oppurtunity lost) sehingga daya dorong fiskal secara langsung dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kebanyakan penerimaan pemerintah dari pajak masuk ke dalam pengeluaran rutin, yang kebanyakan dipakai untuk membayar hutang luar negeri. Kebijakan hutang luar negeri Indonesia akhirnya memang menjadi catatan sejarah ekonomi yang buruk dan sekaligus dapat dicatat sebagai suatu kecelakaan sejarah. Sampai pada kejadian ini, pemerintah tetap merasa santai seolah-olah tidak terjadi apapun dan tidak ada upaya yang signifikan untuk mengurangi hutang luar negeri. Tidak ada perubahan kebijakan yang mengantisipasi dengan cepat permasalahan hutang luar negeri ini sehingga terus menumpuk tanpa penyelesaian. Rutinitas perencanaan fiskal terus dijalankan tanpa makna yang berarti untuk mengurangi ketergantungan terhadap hutang luar negeri tersebut. Namun, akhirnya muncul kesadaran ketika semuanya sudah terlambat, penyakit sudah terlanjur menjadi akut dan kronis, sehingga sulit rasanya untuk bisa keluar dari cengkeraman hutang luar negeri.

Kesimpulan
Yang menjadi masalah disini bukanlah ada tidaknya pendekatan komprehensif terhadap masalah-masalah utang Negara berkembang. Masalahnya adalah peran apa yang akan dimainkan oleh pemerintah Negara-negara maju dan bagaimana cara mereka memudahkan restrukturisasi yang dibutuhkan bagi penanggulangan beban utang Negara berkembang.
            Pendekatan yang digunakan saat ini, yakni memberikan kredit baru tanpa pembiayaan langsung dari Negara-negara industry, sudah tidak sesuai lagi. Krisis utang Negara berkembang tidak dapat lagi diperlakuan sebagai masalah perbankan saja. Masalah ini juga merupakan masalah pertumbuhan ekonomi, masalah perdagangan, dan masalah geopolitik. Suatu pendekatan baru yang memberikan keringanan utang dan dukungan pembiayaan seluruh Negara industry tidak dapat dihindari, bila dunia tidak ingin mengalami suatu krisis keuangan atau erosi stabilitas ekonomi dan politik Negara berkembang yang berkelanjutan.
            Krisis ekonomi adalah masalah kita berasama,untuk kita harus bersama-sama untuk menanggulangi masalah ekonomi ini . baik moril maupun secara materil agar masalah krisis ekonoi tidak berkelanjutan dan semakin membuat terpuruknya bangsa ini.
DAFTAR REF:
A.Bogdanowicz Christine-Bindert, 1989 Pemecahan Krisis Utang Global, Penerbit IBEK Press, Tomang Jakarta Barat.


 

Rabu, 18 April 2012

KONDISI AWAL KRISIS PEREKONOMIAN INDONESIA

I.                   PENDAHULUAN

     1.     Kata Pengantar
 
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tulisan mata kuliah Perekonomian Indonesia yang berjudul  “Kondisi Awal Krisis Perekonomian Indonesia”.
Tulisan ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia di Universitas Gunadarma.
Dalam tulisan  ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan tugas ini.
Dan tidak lupa penulis sampaikan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia, atas tugas yang diberikan. Sehingga menambah ilmu bagi penulis.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.
     
     2.     Latar Belakang
 
Sejak terjadi krisis ekonomi, sosial dan politik pada tahun 1997 yang dialami bangsa Indonesia membuat pemerintah dan masyarakat terpuruk dan makin miskin. Kondisi demikian menyadarkan kita bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunan selama ini belum mampu secara tuntas menyelesaikan masalah kemiskinan terbukti dan sangat rentannya terhadap krisis ekonomi, sosial dan politik. Penyebab kemiskinan dapat disebabkan oleh 2 (dua) faktor. Pertama faktor internal yakni : faktor yang ada pada individu, keluarga atau komunitas masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat pendapatan. Kedua factor eksternal yakni : dipengaruhi oleh kebijakan Global seperti sosial, politik, hukum dan ekonomi. Sedangkan dari sudut dampak kemiskinan akan menimbulkan dampak yang sangat besar jika tidak ditanggulangi seperti menurunnya kualitas sumber daya manusia, munculnya ketimpangan dan kecemburuan sosial, terganggunya stabilitas sosial, meningkatnya angka kriminalitas dan dampak sosial lainnya. Kurang berhasilnya upaya penuntasan penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan dikarenakan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan selalu bersifat parsial, sektoral dan tidak terintegrasi serta tidak focus bahkan terkadang atau ada beberapa kebijakan program yang justru menyebabkan terjadinya proses pemiskinan di tingkat masyarakat.

I         I.                ISI

     a.     Krisis Ekonomi di Tahun 1998
 
Kondisi awal krisis perekonomian Indonesia terjadi pada tahun 1997, yang menempuh puncaknya pada tahun 1998 dengan keadaan yang sangat tragis. Selama periode sembilan bulan pertama 1998, merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat dan dunia usaha.
Krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar Baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti ini lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.
Akhirnya, krisis perekonomian juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan  seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia dilengserkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi Baht, yang menjadi pemicu semua itu.
     
     b.     Efek Krisis Perekonomian Tahun 1998
 
Faktor yang mempercepat efek dari krisis ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.
Krisis yang membuka kekurangan kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga runtuh, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga skala besar, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.
Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.
Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
     
     c.      Anomali
 
Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.

Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.
Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.
Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan.Pemburukan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998.Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.*
    
      d.     Bank-bank Bankrut
 
Keadaan krisis ekonomi pun merambat ke Industri perbankan. Industri perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Semangatnya masyarakat yang menjadi nasabah bank menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua prahara perbankan itu.

Ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang menjadi kronis.
Selain tragedi lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah.
Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah. Bisa dikatakan, bank-bank sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi saham pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet.
Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Akan tetapi pengambil alihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan perbankan.
Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.
Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.
Kebijakan yang hendak dilaksanakan belum memperjelas arah kebijakan pemerintah yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan.Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.
    
     e.      Rupiah dan Saham
 
Grafik kurs Rupiah pada tahun 1998
Kurs rupiah dalam sejarah perekonomian. Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak dan jika digambar terlihat seperti ular yang meliuk-liuk.

Begitu Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang-tak juga menolong rupiah.Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di Jakarta.
Kondisi ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai titik terendah 254 poin.
Menjelang tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400 poin.Tingkat suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi spekulasi pada valuta asing yang mulai mereda ikut membantu.
f.       Potret Kemiskinan di Indonesia
Salah satu prasyarat keberhasilan program-program pembangunan sangat tergantung kepada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area. Dalam pelaksanaan program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya “Si Miskin” tersebut. Profil si miskin berupa karakteristik  social budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikannya, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih, dan sebagainya.
Dengan memperhatikan profil kemiskinan, maka kebijakan yg disusun dalam mengentaskan orang miskin akan lebih terarah dan lebih tepat sasaran. Kebijakan pemerintah yang di aplikasikan selama ini mendukung atau bertentangan dengan usaha mengurangi jumlah penduduk miskin. Usaha kebijakan pemerintah tergantung pada ketersediaan data agregat Indonesia yang memuat berbagai macam informasi tentang keadaan ekonomi, sosial  budaya, serta kondisi demografi dan lokasi geografi penduduk Indonesia. Data dari survai sosial ekonomi nasional ( SUSENAS ) yang dilaksanakan oleh biro pusat statistic (BPS) pada tahu 1990 akan banyak dipergunakan. Suatu kajian Kuantitatif tentang factor –faktor penentu kemiskinan di Indonesia. Usaha berikutnya adalah mencoba mengidentifikasikan tindakan – tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk lebih mempercepat perbaikan nasib atau proses pengentasan orang miskin di Indonesia.
Potret sekilas tentang profil kemiskinan yang ada di Indonesia pada tahun 1990. Akan digamarkan berbagai karakteristik demografi, ekonomi, sosial, dan geografi dari rumah tangga maupun anggota rumah tangga. Berbagai karakteristik rumah tangga meliputi hal-hal tentang apa yang dilakukan oleh rumah tangga beserta segenap anggotanya dimana dan bagaimana mereka hidup, bagaimana mereka memperoleh pendapatan, apa yang dikonsumsinya sejauh mana mereka mendapat pendidikan.
Potret kekacauan Perekonomian Indonesia di tahun 1998

I      II.       PENUTUP
 
Kesimpulan
 
Kondisi krisis perekonomian Indonesia terjadi pada tahun 1998 yang disebabkan oleh kinerja para pemerintah yang selalu mementingkan kepentingan pribadi. Akibat dari krisis ini berdampak  pada  perekonomian Indonesia yang menjadi krisis total yang melumpuhkan  seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa.  Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis dan membuat rakyat semakin menderita.
Resesi krisis ekonomi telah mencampakkan semua kredit/perbankan yang disalurkan menjadi sampah. Sehingga bank sendiri harus menanamkan modal untuk memberi saham pada perbankan. Yang pada akhirnya pemilik bank menjadi bangkrut. Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.
Kondisi krisis ekonomi mempengaruhi pada kurs rupiah dan saham, ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa mengakhiri krisis perbankan.
Masalah kemiskinan telah menjadi slah satu fokus utama dalam perencanaan pembangunan Indonesia di Pelita-VI dan PJP-II. Dirasakan adanya proses penurunan kemiskinan yang melambat.  Selain itu penduduk yang nyaris miskin yang berada pada sedikit di atas garis kemiskinan ternyata masih relative sangat banyak.
Kebijakan yang disusulkan perlu dikaji lebih mendalam melalui berbagai studi tambahan. Selain itu kebijakan yang diusulkan setidaknya memberikan arahan-arahan bagi formulasi kebijakan dan bentuk-bentuk studi berikutnya. 

DAFTAR PUSTAKA

Sumber penulisan :
·        Faisal H. Basri, SE,MA, 1997 Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI, Penerbit Erlangga, Jakarta.
·        Drs. A. Tony Prasetianto M.So, 2000, Keluar Dari Krisis Analisis Ekonomi Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.