Jumat, 03 Mei 2013

HUKUM PERJANJIAN

BAB 5
HUKUM PERJANJIAN

Ditinjau dari Hukum Privat
A.    Pengertian Perjanjian
     Suatu  perjanjian  adalah  suatu  perbuatan  dengan  mana  satu  orang  atau  lebih mengikatkan dirinya  terhadap  satu orang  lain/lebih  (Pasal  1313 BW).  Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a.   Perbuatan,
     Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika  diganti  dengan  kata  perbuatan  hukum  atau  tindakan  hukum,  karena perbuatan    tersebut    membawa    akibat    hukum    bagi    para    pihak    yang memperjanjikan;
b.   Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian,  paling  sedikit  harus  ada  dua  pihak  yang  saling  berhadap-hadapan dan  saling  memberikan  pernyataan  yang  cocok/pas  satu  sama  lain.  Pihak
tersebut adalah orang atau badan hukum.
c.    Mengikatkan dirinya,
     Di  dalam  perjanjian  terdapat  unsur  janji  yang  diberikan  oleh  pihak  yang  satu
kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

B.    Syarat sahnya Perjanjian
Agar  suatu  Perjanjian  dapat  menjadi  sah  dan  mengikat  para  pihak,  perjanjian harus  memenuhi  syarat-syarat  sebagaimana  ditetapkan  dalam  Pasal  1320  BW , yaitu :
1.   sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata  “sepakat”  tidak  boleh  disebabkan  adanya  kekhilafan  mengenai  hakekat barang  yang  menjadi  pokok  persetujuan  atau  kekhilafan  mengenai  diri  pihak lawannya  dalam  persetujuan  yang  dibuat  terutama  mengingat  dirinya  orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman  (Pasal  1324  BW);  adanya  penipuan  yang  tidak  hanya  mengenai kebohongan  tetapi  juga  adanya  tipu  muslihat  (Pasal  1328  BW).  Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut,
dapat diajukan pembatalan.

2.   cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa  para  pihak  telah  dewasa,  tidak  dibawah  pengawasan  karena  prerilaku yang  tidak  stabil  dan  bukan  orang-orang  yang  dalam  undang-undang  dilarang membuat suatu perjanjian.
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang  perempuan,  dalam  hal-hal  yang  ditetapkan  oleh  undang-
undang, 
     pada  umumnya  semua  orang  kepada  siapa  undang-undang telah     melarang     membuat     perjanjian-perjanjian     tertentu.     Namun berdasarkan  fatwa  Mahkamah  Agung,  melalui  Surat  Edaran  Mahkamah Agung  No.3/1963  tanggal  5  September  1963,  orang-orang  perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka  berwenang  melakukan perbuatan  hukum  tanpa  bantuan  atau  izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).

3.   suatu hal tertentu;
Perjanjian  harus  menentukan  jenis  objek  yang  diperjanjikan.  Jika  tidak,  maka perjanjian  itu  batal  demi  hukum.  Pasal  1332  BW  menentukan  hanya  barang-barang  yang  dapat  diperdagangkan  yang  dapat  menjadi  obyek  perjanjian,  dan berdasarkan Pasal  1334  BW  barang-barang  yang  baru  akan  ada  di  kemudian  hari  dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.




4.   suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya  causa  dari  suatu  persetujuan  ditentukan  pada  saat  perjanjian  dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat  pertama  dan  kedua  menyangkut  subyek,  sedangkan  syarat  ketiga  dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak   cakap   untuk   membuat   perikatan,   mengenai   subyek   mengakibatkan perjanjian  dapat  dibatalkan.  Sementara  apabila  syarat  ketiga  dan  keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Misal:
Dalam  melakukan  perjanjian  pengadaan  barang,  antara  TPK  (Tim  Pelaksana Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
-    TPK  sepakat  untuk  membeli  sejumlah  barang  dengan  biaya  tertentu  dan supplier  sepakat  untuk  menyuplai  barang  dengan  pembayaran  tersebut. Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.
-    TPK  dan  supplier  telah  dewasa,  tidak  dalam  pengawasan  atau  karena perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
-    Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
-    Tujuan  perjanjian  jual  beli  tidak  dimaksudkan  untuk  rekayasa  atau  untuk kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk   membuat   kwitansi   dimana   nilai   harga   lebih   besar   dari   harga sesungguhnya).

Ada dua akibat yang dapat terjadi jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat
di atas.
Pasal 1331 (1) KUH Perdata:
Semua  perjanjian  yang  dibuat  secara  sah  berlaku  sebagai  undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Apabila  perjanjian  yang  dilakukan  obyek/perihalnya  tidak  ada  atau  tidak
didasari  pada  itikad  yang baik,  maka dengan sendirinya  perjanjian  tersebut
batal  demi  hukum.  Dalam  kondisi  ini  perjanjian dianggap  tidak  pernah ada,
dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan hakim.
Sedangkan  untuk  perjanjian  yang  tidak  memenuhi  unsur  subyektif  seperti
perjanjian  dibawah  paksaan  dan  atau  terdapat  pihak  dibawah  umur  atau
dibawah  pengawasan,  maka  perjanjian  ini  dapat  dimintakan  pembatalan
(kepada   hakim)   oleh   pihak   yang   tidak   mampu   termasuk   wali   atau
pengampunya. Dengan kata lain, apabila tidak dimintakan pembatalan maka
perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.

Kapan perjanjian mulai dinyatakan berlaku ?
Pada prinsipnya, hukum perjanjian menganut asas konsensualisme. Artinya
bahwa perikatan timbul sejak terjadi kesepakatan para pihak.
Misal:
Pada  saat  terjadi  musyawarah  penanganan    masalah,  pelaku  menyatakan
bahwa  ia  akan  mengembalikan  dana  tersebut  bulan  depan.  Maka,  sejak  ia
menyatakan  kesediaannya,  sejak  itulah  perikatan  terjadi  atau  berlaku.
Bahkan bila pada saat itu tidak dilengkapi dengan adanya pernyataan tertulis.
Satu persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika salah
satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi ?
Ada  4  akibat  yang  dapat  terjadi  jika  salah  satu  pihak  melakukan  wan  prestasi
yaitu:
1.   Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi
2.   Dilakukan pembatalan perjanjian
3.   Peralihan resiko
4.   Membayar biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim
Mencari pengakuan akan kelalaian atau wan prestasi tidaklah mudah. Sehingga
apabila  yang  bersangkutan  menyangkal  telah  dilakukannya  wan prestasi  dapat
dilakukan pembuktian di depan pengadilan.
Sebelum  kita  melangkah  pada  proses  pembuktian  di  pengadilan,  terdapat
langkah-langkah yang dapat kita tempuh yaitu dengan membuat surat peringatan
atau teguran, yang biasa dikenal dengan istilah SOMASI.
Pedoman penting dalam menafsirkan suatu perjanjian:
1.   Jika    kata-kata    dalam    perjanjian    jelas,    maka    tidak    diperkenankan
menyimpangkan dengan penafsiran.
2.   Jika   mengandung   banyak   penafsiran,   maka   harus   diselidiki   maksud
perjanjian oleh kedua pihak, dari pada memegang teguh arti katakata
3.   Jika   janji   berisi   dua   pengertian,   maka   harus   dipilih   pengertian   yang
memungkinkan janji dilaksanakan
4.   Jika  kata-kata  mengandung  dua  pengertian,  maka  dipilih  pengertian  yang
selaras dengan sifat perjanjian
5.   Apa yang meragukan, harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan
6.   Tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya

C.    Akibat Perjanjian
Pasal  1338  ayat  (1)  KUH  Perdata,  yang  menyatakan  bahwa  semua  kontrak
(perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi
kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak
yang  membuat  perjanjian  harus  menaati  hukum  yang  sifatnya  memaksa.  Suatu
perjanjian  tidak  dapat  ditarik  kembali  selain  dengan  sepakat  kedua  belah  pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Perjanjian  tidak  hanya  mengikat  untuk  hal-hal  yang  dengan  tegas  dinyatakan
didalamnya,  tetapi  juga  untuk  segala  sesuatu  yang  menurut  sifat  perjanjian,
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.

D.    Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian berakhir karena :
a.     ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b.     undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c.     para   pihak   atau   undang-undang   menentukan   bahwa   dengan   terjadinya
peristiwa
d.     tertentu maka persetujuan akan hapus;
Peristiwa  tertentu  yang  dimaksud  adalah  keadaan  memaksa  (overmacht)  yang  diatur
dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan
dimana  debitur  tidak  dapat  melakukan  prestasinya  kepada  kreditur  yang  disebabkan
adanya  kejadian  yang  berada  di  luar  kekuasaannya,  misalnya  karena  adanya  gempa
bumi, banjir,  lahar  dan  lain-lain.  Keadaan  memaksa  dapat dibagi  menjadi  dua  macam
yaitu :
•    keadaan  memaksa  absolut  adalah  suatu  keadaan  di  mana  debitur  sama  sekali
tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa
bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur).
Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a.   debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b.   kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas
dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut
dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
c.   keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur
masih  mungkin  untuk  melaksanakan  prestasinya,  tetapi  pelaksanaan  prestasi  itu
harus  dilakukan  dengan  memberikan  korban  besar  yang  tidak  seimbang  atau
menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan
tertimpa  bahaya  kerugian  yang  sangat  besar.  Keadaan  memaksa  ini  tidak
mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan
kewajiban kreditur dan debitur.
d.   pernyataan  menghentikan  persetujuan  (opzegging)  yang  dapat  dilakukan  oleh
kedua  belah  pihak  atau  oleh  salah  satu  pihak  pada  perjanjian  yang  bersifat
sementara misalnya perjanjian kerja;
e.   putusan hakim;
f.    tujuan perjanjian telah tercapai;
g.   dengan persetujuan para pihak (herroeping).

Ditinjau dari Hukum Publik
A.    Pengertian Perjanjian
Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional.
Saat  ini  pada  masyarakat  internasional,  perjanjian  internasional  memainkan
peranan  yang  sangat  penting  dalam  mengatur  kehidupan  dan  pergaulan  antar
negara.  Perjanjian  Internasional  pada  hakekatnya  merupakan  sumber  hukum
internasional  yang  utama  untuk  mengatur  kegiatan  negara-negara  atau  subjek
hukum internasional lainnya.
Sampai  tahun  1969,  pembuatan  perjanjian-perjanjian  Internasional  hanya  diatur
oleh  hukum  kebiasaan.  Berdasarkan  draft-draft  pasal-pasal  yang  disiapkan  oleh
Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di
Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April –
22  Mei  1969  untuk  mengkodifikasikan  hukum  kebiasaan  tersebut.  Konferensi
kemudian   melahirkan   Vienna   Convention   on   the   Law   of   Treaties   yang
ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27
Januari 1980 dan merupakan hukum internasional positif.
Pasal  2  Konvensi  Wina  1969  mendefinisikan  perjanjian  internasional  (treaty)
adalah  suatu  persetujuan  yang  dibuat  antar  negara  dalam  bentuk  tertulis,  dan
diatur  oleh  hukum  internasional,  apakah  dalam  instrumen  tunggal  atau  dua  atau
lebih  instrumen  yang  berkaitan  dan  apapun  nama  yang  diberikan  kepadanya.
Pengertian diatas mengandung unsur :
a.    adanya  subjek  hukum  internasional,  yaitu  negara,  organisasi  internasional
dan gerakan-gerakan pembebasan.
Pengakuan  negara   sebagai   sebagai   subjek  hukum   internasional   yang
mempunyai    kapasitas    penuh    untuk    membuat    perjanjian-perjanjian
internasional tercantum dalam
Pasal  6  Konvensi Wina.  Organisasi  internasional  juga  diakui  sebagai  pihak
yang membuat perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian
berasal dari negara-negara anggota dan perjanjian internasional yang dibuat
merupakan    bidang    kewenangan    organisasi    internasional    tersebut.
Pembatasan  tersebut  terlihat  pada  Pasal  6  Konvensi  Wina.  Kapasitas
gerakan-gerakan  pembebasan  diakui  namun  bersifat  selektif  dan  terbatas.
Selektif  artinya  gerakan-gerakan  tersebut  harus  diakui  terlebih  dahulu  oleh
kawasan     dimana     gerakan     tersebut     berada.     Terbatas     artinya
keikutsertaangerakan    dalam    perjanjian    adalah    untuk    melaksanakan
keinginan gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.
b.    rezim hukum internasional.
Perjanjian  internasional  harus  tunduk  pada  hukum  internasional  dan  tidak
boleh  tunduk  pada  suatu  hukum  nasional  tertentu.  Walaupun  perjanjian  itu
dibuat oleh negara atau organisasi internasional namun apabila telah tunduk
pada suatu hukum nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah
perjanjian internasional.

B.    Syarat sahnya perjanjian
Berbeda dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak
sejak  adanya  kata  sepakat,  namun  dalam  hukum  publik  kata  sepakat  hanya
menunjukkan  kesaksian  naskah  perjanjian,  bukan  keabsahan  perjanjian.  Dan
setelah perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak
belum melakukan ratifikasi.

Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
a.          perundingan  dimana  negara  mengirimkan  utusannya  ke  suatu  konferensi
bilateral maupun multilateral;
b.          penerimaan naskah  perjanjian  (adoption of the  text)  adalah  penerimaan  isi
naskah   perjanjian   oleh   peserta   konferensi   yang   ditentukan   dengan
persetujuan dari semua peserta melalui pemungutan suara;
c.          kesaksian  naskah  perjanjian  (authentication  of  the  text),  merupakan  suatu
tindakan  formal  yang  menyatakan  bahwa  naskah  perjanjian  tersebut  telah
diterima konferensi.
Pasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah
perjanjian  atau  sesuai  dengan  yang  telah  diputuskan  oleh  utusan-utusan  dalam
konferensi.  Kalau  tidak  ditentukan  maka  pengesahan  dapat  dilakukan  dengan
membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d.          persetujuan  mengikatkan  diri  (consent  to  the  bound),  diberikan  dalam
bermacam  cara  tergantung  pada  permufakatan  para  pihak  pada  waktu
mengadakan perjanjian, dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah
sebagai berikut :
a)   penandatanganan,
Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan :
-    persetujuan  negara  untuk  diikat  suatu  perjanjian  dapat  dinyatakan
dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut;
-    bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya;
-    bila  terbukti  bahwa  negara-negara  yang  ikut  berunding  menyetujui
demikian;
-    bila   full   powers   wakil-wakil   negara   menyebutkan   demikian   atau
dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.
b)   pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh
badan yang berwenang di negara anggota.

C.    Akibat perjanjian
1)   Bagi negara pihak :
Pasal  26  Konvensi  Wina  menyatakan  bahwa  tiap-tiap  perjanjian  yang  berlaku
mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau
in good faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang
harus  mengambil  tindakan  yang  diperlukan  untuk  menjamin  pelaksanaannya.
Daya ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
2)   Bagi  negara  lain  :  Berbeda  dengan  perjanjian  dalam  lapangan  hukum  privat
yang tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian
internasional  dapat  menimbulkan  akibat  bagi  pihak  ketiga  atas  persetujuan
mereka, dapat memberikan hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai
akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2
(6)  Piagam PBB  yang  menyatakan  bahwa negara-negara  bukan  anggota PBB
harus bertindak  sesuai  dengan asas  PBB  sejauh  mungkin bila  dianggap perlu
untuk perdamaian dan keamanan internasional).
Pasal   35   Konvensi  Wina   mengatur  bahwa  perjanjian   internasional  dapat
menimbulkan  akibat  bagi  pihak  ketiga  berupa  kewajiban  atas  persetujuan
mereka dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.

D.    Berakhirnya perjanjian
(1)       sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2)       atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3)       akibat  peristiwa-peristiwa  tertentu  yaitu  tidak  dilaksanakannya  perjanjian,
perubahan   kendaraan   yang   bersifat   mendasar   pada   negara   anggota,
timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.

Kesimpulan
Perjanjian,  baik  ditinjau  dari  sudut  hukum  privat  maupun  publik,  sama-sama  memiliki
kekuatan mengikat bagi para pihak yang memperjanjikan jika sudah memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan untuk dinyatakan sah. Namun berbeda dengan perjanjian yang
berlaku dalam lapangan hukum privat yang hanya mengikat kedua belah pihak, dalam
lapangan hukum publik perjanjian mengikat bukan hanya kedua belah pihak namun juga
pihak ketiga.
Selain  itu  subjek  perjanjian  dalam  lapangan  hukum  privat  adalah  individu  atau  badan
hukum,  sementara  subjek  perjanjian  dalam  lapangan  hukum  publik  adalah  subjek
hukum   internasional   yaitu   negara,   organisasi   internasional   dan   gerakan-gerakan
pembebasan.

Perbedaan Perikatan dan Perjanjian
Pada  prinsipnya  perikatan  adalah  suatu  hubungan  hukum  antara  dua  pihak,  dimana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan yang lain berkewajiban
memenuhi  tuntutan  tersebut.  Sedangkan  perjanjian  adalah  suatu  peristiwa  dimana
seseorang  berjanji  kepada  orang  lain,  atau  dimana  dua  pihak  saling  berjanji  untuk
melaksanakan suatu hal.
Berangkat  dari  definisi  di  atas  maka  dapat  disimpulkan  bahwa  suatu  perjanjian  akan
menimbulkan perikatan

SUMBER :
lista.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/.../Hukum+Perjanjian.pdf‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar