I. PENDAHULUAN
1. Kata Pengantar
Puji
syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan tulisan mata kuliah Perekonomian Indonesia
yang berjudul “Kondisi Awal Krisis Perekonomian Indonesia”.
Tulisan
ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Perekonomian Indonesia di Universitas Gunadarma.
Dalam
tulisan ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat
penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan tugas ini.
Dan
tidak lupa penulis sampaikan banyak terima kasih kepada dosen mata
kuliah Perekonomian Indonesia, atas tugas yang diberikan. Sehingga
menambah ilmu bagi penulis.
Semoga
materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak
yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan
dapat tercapai, Amiin.
2. Latar Belakang
Sejak
terjadi krisis ekonomi, sosial dan politik pada tahun 1997 yang dialami
bangsa Indonesia membuat pemerintah dan masyarakat terpuruk dan makin
miskin. Kondisi demikian menyadarkan kita bahwa berbagai kebijakan dan
program pembangunan selama ini belum mampu secara tuntas menyelesaikan
masalah kemiskinan terbukti dan sangat rentannya terhadap krisis
ekonomi, sosial dan politik. Penyebab kemiskinan dapat disebabkan oleh 2 (dua) faktor. Pertama faktor
internal yakni : faktor yang ada pada individu, keluarga atau komunitas
masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan
rendahnya tingkat pendapatan. Kedua factor eksternal yakni :
dipengaruhi oleh kebijakan Global seperti sosial, politik, hukum dan
ekonomi. Sedangkan dari sudut dampak kemiskinan akan menimbulkan dampak yang
sangat besar jika tidak ditanggulangi seperti menurunnya kualitas
sumber daya manusia, munculnya ketimpangan dan kecemburuan sosial,
terganggunya stabilitas sosial, meningkatnya angka kriminalitas dan
dampak sosial lainnya. Kurang berhasilnya upaya penuntasan
penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan dikarenakan berbagai
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang selama ini
dilakukan selalu bersifat parsial, sektoral dan tidak terintegrasi serta
tidak focus bahkan terkadang atau ada beberapa kebijakan program yang
justru menyebabkan terjadinya proses pemiskinan di tingkat masyarakat.
I I. ISI
a. Krisis Ekonomi di Tahun 1998
Kondisi
awal krisis perekonomian Indonesia terjadi pada tahun 1997, yang
menempuh puncaknya pada tahun 1998 dengan keadaan yang sangat tragis.
Selama periode sembilan bulan pertama 1998, merupakan periode paling
hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan
selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak
krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat dan dunia usaha.
Krisis
yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar Baht di Thailand 2
Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis
ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Dana
Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997,
namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan
rupiah. Bahkan situasi seperti ini lepas kendali, bagai layang-layang
yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai
yang terparah di Asia Tenggara.
Akhirnya,
krisis perekonomian juga berkembang menjadi krisis total yang
melumpuhkan seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Bahkan kursi atau
tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia dilengserkan.
Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi Baht,
yang menjadi pemicu semua itu.
b. Efek Krisis Perekonomian Tahun 1998
Faktor
yang mempercepat efek dari krisis ini adalah menguapnya dengan cepat
kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto
memasuki tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan
pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang
segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang
menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk
dalam 50 tahun terakhir.
Dari
total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar
AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua
pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh
tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal
sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya
kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp
4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar
Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari
80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah
yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk
membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/
1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.
Krisis
yang membuka kekurangan kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat
merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan
pasar uang dan pasar modal juga runtuh, bank-bank nasional dalam
kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga
surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Puluhan,
bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga skala besar,
bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar
modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.
Sektor
yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan
perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja
(PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak
akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari
angkatan kerja.
Akibat
PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah
garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total
penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam
suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Pendapatan
per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088
dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998,
dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh
Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika
ekonomi tak segera membaik.
Data
Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih
mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol
persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi
sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan
17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus
1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67
persen.
Di
pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta
(BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998,
dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar
menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal
Juli 1998.
Di
pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60
persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen
pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak.
Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Di
sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di
tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan
momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar
pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.
Selama
periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen
dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh
5,36 persen.
c. Anomali
Situasi
yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan
arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya,
Soeharto sempat menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System)
di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali
tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat
memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan
bantuannya.
Ditinggalkannya
rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat
dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent
ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat
menghilangkan berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis
yang berkelanjutan.
Bahkan
memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi
beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah
mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan
gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan
bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun
ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi
berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut
mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha
keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan
luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di
Indonesia.
Munculnya
pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk
dengan manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong
keadaan.Pemburukan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini
setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal
ketiga 1998.Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk
perekonomian sepanjang tahun 1998.*
d. Bank-bank Bankrut
Keadaan
krisis ekonomi pun merambat ke Industri perbankan. Industri perbankan
selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Semangatnya masyarakat yang
menjadi nasabah bank menyambut industri perbankan awal tahun 1998.
Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank. Tindakan
likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari
semua prahara perbankan itu.
Ada
jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun
1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak
lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian, jaminan itu tak
kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang menjadi
kronis.
Selain
tragedi lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan
selama tahun 1998. Pertama adalah kepanikan nasabah yang mengakibatkan
sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan
likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah
pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah.
Ada
lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih
tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah. Bisa dikatakan, bank-bank sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi
ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah.
Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi
saham pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik
bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri,
terjerat kredit macet.
Tambahan
pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi
simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan internasional.
Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah membuat
mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto,
pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui
Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah
dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Akan
tetapi pengambil alihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan
nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di
berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan
perbankan.
Kebijakan
di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Pola pengembalian
dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah.
Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama
lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.
Sampai
akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan
batas waktu empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku
operasi (BBO) dan bank take over (BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.
Kebijakan
yang hendak dilaksanakan belum memperjelas arah kebijakan pemerintah
yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan.Dengan rekapitalisasi
perbankan pemerintah berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat
serta mampu bertarung di pasar global.
e. Rupiah dan Saham
Grafik kurs Rupiah pada tahun 1998
Kurs
rupiah dalam sejarah perekonomian. Bursa saham pun demikian halnya,
bergejolak dan jika digambar terlihat seperti ular yang meliuk-liuk.
Begitu
Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei
1998-yang diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan
gelombang-tak juga menolong rupiah.Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per
dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi
sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi
penjarahan 14 Mei di Jakarta.
Kondisi
ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang
tinggi, suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi
perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai titik terendah 254 poin.
Menjelang
tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat
400 poin.Tingkat suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai
terkendali dan aksi spekulasi pada valuta asing yang mulai mereda ikut
membantu.
f. Potret Kemiskinan di Indonesia
Salah
satu prasyarat keberhasilan program-program pembangunan sangat
tergantung kepada ketepatan pengidentifikasian target group dan target
area. Dalam pelaksanaan program pengentasan nasib orang miskin,
keberhasilannya tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan,
yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya “Si Miskin” tersebut. Profil
si miskin berupa karakteristik social budaya dan karakteristik
demografinya seperti tingkat pendidikannya, cara memperoleh fasilitas
kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih, dan
sebagainya.
Dengan
memperhatikan profil kemiskinan, maka kebijakan yg disusun dalam
mengentaskan orang miskin akan lebih terarah dan lebih tepat sasaran.
Kebijakan pemerintah yang di aplikasikan selama ini mendukung atau
bertentangan dengan usaha mengurangi jumlah penduduk miskin. Usaha
kebijakan pemerintah tergantung pada ketersediaan data agregat Indonesia
yang memuat berbagai macam informasi tentang keadaan ekonomi, sosial
budaya, serta kondisi demografi dan lokasi geografi penduduk Indonesia.
Data dari survai sosial ekonomi nasional ( SUSENAS ) yang dilaksanakan
oleh biro pusat statistic (BPS) pada tahu 1990 akan banyak dipergunakan.
Suatu kajian Kuantitatif tentang factor –faktor penentu kemiskinan di
Indonesia. Usaha berikutnya adalah mencoba mengidentifikasikan tindakan –
tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk lebih mempercepat
perbaikan nasib atau proses pengentasan orang miskin di Indonesia.
Potret
sekilas tentang profil kemiskinan yang ada di Indonesia pada tahun
1990. Akan digamarkan berbagai karakteristik demografi, ekonomi, sosial,
dan geografi dari rumah tangga maupun anggota rumah tangga. Berbagai
karakteristik rumah tangga meliputi hal-hal tentang apa yang dilakukan
oleh rumah tangga beserta segenap anggotanya dimana dan bagaimana mereka
hidup, bagaimana mereka memperoleh pendapatan, apa yang dikonsumsinya
sejauh mana mereka mendapat pendidikan.
Potret kekacauan Perekonomian Indonesia di tahun 1998
I II. PENUTUP
Kesimpulan
Kondisi
krisis perekonomian Indonesia terjadi pada tahun 1998 yang disebabkan
oleh kinerja para pemerintah yang selalu mementingkan kepentingan
pribadi. Akibat dari krisis ini berdampak pada perekonomian Indonesia
yang menjadi krisis total yang melumpuhkan seluruh sendi-sendi
kehidupan bangsa. Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat
pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis
dan membuat rakyat semakin menderita.
Resesi
krisis ekonomi telah mencampakkan semua kredit/perbankan yang
disalurkan menjadi sampah. Sehingga bank sendiri harus menanamkan modal
untuk memberi saham pada perbankan. Yang pada akhirnya pemilik bank
menjadi bangkrut. Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali
direvisi. Pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu
pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu
tahun.
Kondisi
krisis ekonomi mempengaruhi pada kurs rupiah dan saham, ekonomi yang
mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku
bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi
perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa mengakhiri krisis perbankan.
Masalah
kemiskinan telah menjadi slah satu fokus utama dalam perencanaan
pembangunan Indonesia di Pelita-VI dan PJP-II. Dirasakan adanya proses
penurunan kemiskinan yang melambat. Selain itu penduduk yang nyaris
miskin yang berada pada sedikit di atas garis kemiskinan ternyata masih
relative sangat banyak.
Kebijakan
yang disusulkan perlu dikaji lebih mendalam melalui berbagai studi
tambahan. Selain itu kebijakan yang diusulkan setidaknya memberikan
arahan-arahan bagi formulasi kebijakan dan bentuk-bentuk studi
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber penulisan :
· Faisal H. Basri, SE,MA, 1997 Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI, Penerbit Erlangga, Jakarta.
· Drs. A. Tony Prasetianto M.So, 2000, Keluar Dari Krisis Analisis Ekonomi Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar