Rabu, 18 April 2012

KONDISI AWAL KRISIS PEREKONOMIAN INDONESIA

I.                   PENDAHULUAN

     1.     Kata Pengantar
 
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tulisan mata kuliah Perekonomian Indonesia yang berjudul  “Kondisi Awal Krisis Perekonomian Indonesia”.
Tulisan ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia di Universitas Gunadarma.
Dalam tulisan  ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan tugas ini.
Dan tidak lupa penulis sampaikan banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia, atas tugas yang diberikan. Sehingga menambah ilmu bagi penulis.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.
     
     2.     Latar Belakang
 
Sejak terjadi krisis ekonomi, sosial dan politik pada tahun 1997 yang dialami bangsa Indonesia membuat pemerintah dan masyarakat terpuruk dan makin miskin. Kondisi demikian menyadarkan kita bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunan selama ini belum mampu secara tuntas menyelesaikan masalah kemiskinan terbukti dan sangat rentannya terhadap krisis ekonomi, sosial dan politik. Penyebab kemiskinan dapat disebabkan oleh 2 (dua) faktor. Pertama faktor internal yakni : faktor yang ada pada individu, keluarga atau komunitas masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat pendapatan. Kedua factor eksternal yakni : dipengaruhi oleh kebijakan Global seperti sosial, politik, hukum dan ekonomi. Sedangkan dari sudut dampak kemiskinan akan menimbulkan dampak yang sangat besar jika tidak ditanggulangi seperti menurunnya kualitas sumber daya manusia, munculnya ketimpangan dan kecemburuan sosial, terganggunya stabilitas sosial, meningkatnya angka kriminalitas dan dampak sosial lainnya. Kurang berhasilnya upaya penuntasan penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan dikarenakan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang selama ini dilakukan selalu bersifat parsial, sektoral dan tidak terintegrasi serta tidak focus bahkan terkadang atau ada beberapa kebijakan program yang justru menyebabkan terjadinya proses pemiskinan di tingkat masyarakat.

I         I.                ISI

     a.     Krisis Ekonomi di Tahun 1998
 
Kondisi awal krisis perekonomian Indonesia terjadi pada tahun 1997, yang menempuh puncaknya pada tahun 1998 dengan keadaan yang sangat tragis. Selama periode sembilan bulan pertama 1998, merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat dan dunia usaha.
Krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar Baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti ini lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.
Akhirnya, krisis perekonomian juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan  seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia dilengserkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi Baht, yang menjadi pemicu semua itu.
     
     b.     Efek Krisis Perekonomian Tahun 1998
 
Faktor yang mempercepat efek dari krisis ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.
Krisis yang membuka kekurangan kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga runtuh, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga skala besar, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.
Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.
Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
     
     c.      Anomali
 
Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.

Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.
Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.
Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan.Pemburukan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998.Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.*
    
      d.     Bank-bank Bankrut
 
Keadaan krisis ekonomi pun merambat ke Industri perbankan. Industri perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Semangatnya masyarakat yang menjadi nasabah bank menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua prahara perbankan itu.

Ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang menjadi kronis.
Selain tragedi lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah.
Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah. Bisa dikatakan, bank-bank sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi saham pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet.
Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Akan tetapi pengambil alihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan perbankan.
Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.
Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.
Kebijakan yang hendak dilaksanakan belum memperjelas arah kebijakan pemerintah yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan.Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.
    
     e.      Rupiah dan Saham
 
Grafik kurs Rupiah pada tahun 1998
Kurs rupiah dalam sejarah perekonomian. Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak dan jika digambar terlihat seperti ular yang meliuk-liuk.

Begitu Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang-tak juga menolong rupiah.Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di Jakarta.
Kondisi ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai titik terendah 254 poin.
Menjelang tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400 poin.Tingkat suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi spekulasi pada valuta asing yang mulai mereda ikut membantu.
f.       Potret Kemiskinan di Indonesia
Salah satu prasyarat keberhasilan program-program pembangunan sangat tergantung kepada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area. Dalam pelaksanaan program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya “Si Miskin” tersebut. Profil si miskin berupa karakteristik  social budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikannya, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih, dan sebagainya.
Dengan memperhatikan profil kemiskinan, maka kebijakan yg disusun dalam mengentaskan orang miskin akan lebih terarah dan lebih tepat sasaran. Kebijakan pemerintah yang di aplikasikan selama ini mendukung atau bertentangan dengan usaha mengurangi jumlah penduduk miskin. Usaha kebijakan pemerintah tergantung pada ketersediaan data agregat Indonesia yang memuat berbagai macam informasi tentang keadaan ekonomi, sosial  budaya, serta kondisi demografi dan lokasi geografi penduduk Indonesia. Data dari survai sosial ekonomi nasional ( SUSENAS ) yang dilaksanakan oleh biro pusat statistic (BPS) pada tahu 1990 akan banyak dipergunakan. Suatu kajian Kuantitatif tentang factor –faktor penentu kemiskinan di Indonesia. Usaha berikutnya adalah mencoba mengidentifikasikan tindakan – tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk lebih mempercepat perbaikan nasib atau proses pengentasan orang miskin di Indonesia.
Potret sekilas tentang profil kemiskinan yang ada di Indonesia pada tahun 1990. Akan digamarkan berbagai karakteristik demografi, ekonomi, sosial, dan geografi dari rumah tangga maupun anggota rumah tangga. Berbagai karakteristik rumah tangga meliputi hal-hal tentang apa yang dilakukan oleh rumah tangga beserta segenap anggotanya dimana dan bagaimana mereka hidup, bagaimana mereka memperoleh pendapatan, apa yang dikonsumsinya sejauh mana mereka mendapat pendidikan.
Potret kekacauan Perekonomian Indonesia di tahun 1998

I      II.       PENUTUP
 
Kesimpulan
 
Kondisi krisis perekonomian Indonesia terjadi pada tahun 1998 yang disebabkan oleh kinerja para pemerintah yang selalu mementingkan kepentingan pribadi. Akibat dari krisis ini berdampak  pada  perekonomian Indonesia yang menjadi krisis total yang melumpuhkan  seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa.  Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan orientasi dalam menangani krisis dan membuat rakyat semakin menderita.
Resesi krisis ekonomi telah mencampakkan semua kredit/perbankan yang disalurkan menjadi sampah. Sehingga bank sendiri harus menanamkan modal untuk memberi saham pada perbankan. Yang pada akhirnya pemilik bank menjadi bangkrut. Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.
Kondisi krisis ekonomi mempengaruhi pada kurs rupiah dan saham, ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa mengakhiri krisis perbankan.
Masalah kemiskinan telah menjadi slah satu fokus utama dalam perencanaan pembangunan Indonesia di Pelita-VI dan PJP-II. Dirasakan adanya proses penurunan kemiskinan yang melambat.  Selain itu penduduk yang nyaris miskin yang berada pada sedikit di atas garis kemiskinan ternyata masih relative sangat banyak.
Kebijakan yang disusulkan perlu dikaji lebih mendalam melalui berbagai studi tambahan. Selain itu kebijakan yang diusulkan setidaknya memberikan arahan-arahan bagi formulasi kebijakan dan bentuk-bentuk studi berikutnya. 

DAFTAR PUSTAKA

Sumber penulisan :
·        Faisal H. Basri, SE,MA, 1997 Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI, Penerbit Erlangga, Jakarta.
·        Drs. A. Tony Prasetianto M.So, 2000, Keluar Dari Krisis Analisis Ekonomi Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar